Diskusi Bulanan : Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Wisata di Kawasan Konservasi
Bogor, 29 April 2014. Kegiatan Diskusi Bulanan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB), merupakan suatu kegiatan diskusi guna meningkatkan kapasitas dan informasi mengenai informasi serta isu-isu yang berkembang saat ini.
Kegiatan diskusi yang dimulai pada pukul 08.30 WIB di Ruang Sidang Sylva, Fakultas Kehutanan diselenggarakan oleh Divisi Rekreasi Alam dan Ekowisata, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE). Kegiatan tersebut dihadiri oleh berbagai stakeholder wisata di Indonesia (Pengusaha, Direktorat PJLKKHL Kementerian Kehutanan, Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri (dalam aplikasi Permendagri No.33 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah), Kementerian Kelautan dan Perikanan, Litbanghut Kementerian Kehutanan, Kementerian Perekonomian (Keasdepan Kehutanan), Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, BKSDA Wilayah Jawa Barat, Asosiasi Pengusaha Pariwisata Alam Indonesia). Demikian juga dihadiri oleh sivitas akademika IPB mulai dari mahasiswa sarjana, pascasarjana, dosen, ketua departemen hingga Dekan Fakultas Kehutanan IPB.
Tema diskusi adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Diskusi bulanan dibuka oleh Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Prof. Dr. Bambang Hero Saharjo, M. Agr. pada pukul 09.00. Dilanjutkan dengan penyampaian makalah utama oleh kepala Divisi Rekreasi Alam dan Ekowisata yaitu Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib. Dalam paparan makalahnya Kepala Divisi Rekreasi Alam dan Ekowisata menyampaikan bahwa, salah satu kelompok yang termasuk PNBP adalah penerimaan dari pemanfaatan sumberdaya alam. Wisata alam di kawasan konservasi seperti taman nasional, taman wisata alam, taman hutan raya, dan taman buru, pada tahun 2014 ditargetkan mampu menyumbang PNBP minimum sebesar Rp 1 triliun. Juga disitir pernyataan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kemenhut, bahwa target PNBP dari sektor wisata alam untuk tahun ini meningkat dibandingkan dengan target tahun lalu yaitu sebesar Rp 500 miliar, namun realisasinya Rp 3,5 triliun. Berkaitan dengan itu, untuk meningkatkan PNBP tersebut, maka pada pertengahan bulan April ini, Kemenhut melalui PP No.12 Tahun 2014 menaikkan tarif masuk ke lokasi wisata yang ada di kawasan konservasi. Tarif masuk yang semula hanya Rp 2.500 dinaikkan menjadi Rp 5.000-Rp 25.000 bagi wisatawan domestik dan Rp 100.000-Rp 300.000 bagi wisatawan mancanegara. Besar tarif yang ditetapkan berdasarkan rayon, misalkan Rayon 1, TN Bromo Tengger Semeru dan TN Bali Barat dikenakan tarif tertinggi (Rp 20.000) dan rayon 3 dikenakan tarif paling rendah (Rp 5.000). “Namun demikian, pihak PJLKKHL akan membatasi pemanfaatan jasa lingkungan atau pariwisata di lokasi konservasi untuk menjaga agar satwa tetap nyaman, meskipun dikejar target PNBP Rp 1 triliun.”.
Ibu Harini juga mempertanyakan Apakah bentuk PNBP hanya satu cara berdasar penetapan itu saja ?
Dalam suatu kegiatan wisata sebenarnya banyak sekali bentuk-bentuk pelayanan yang dapat menghasilkan. Mulai dari pemanduan untuk melihat berbagai kegiatan wisata,penjualan souvenir, penjualan program dan paket wisata dan sebagainya. Seperti juga di rumah sakit maka yang akan menghasilkan dana adalah pelayanan nya, namun juga untuk bisa mendapatkan pelayanan prima ada berbagai sarana untuk pelayanannya
Jadi untuk suatu kawasan konservasi yang dimanfaatkan untuk wisata mestinya bukan hanya dikenakan semacam karcis untuk PNBP nya. Namun perlu dicari suatu cara lain yang menjadikan semua pelaku maupun wisatawan tidak merasa terbebani, namun juga bagaimana supaya pendapatan /penerimaan negara dari kawasan itu meningkat.
Mungkin pemikiran yang hanya mengkhususkan penerimaan Negara dengan satu bentuk model PNBP itu sebenarnya terlalu menyederhanakan cara untuk mendapatkan penerimaan negara.
Menurut Kasubdit Program dan Evaluasi Direktorat PJLKKHL, Ir. Trio Santoso uraian yang disampaikan dari Prof. E.K.S Harini merupakan bentuk penyesuaian tingkat inflasi, karena sudah 16 tahun tarif masuk wisata alam ke kawasan konservasi tidak pernah naik. Disamping itu pula, kalau dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, tarif masuk wisata alam ke kawasan konservasi di Indonesia jauh lebih rendah
Pada diskusi yang dihadiri berbagai pihak dari latar belakang yang berbeda tersebut, pada dasarnya peserta diskusi setuju dengan adanya PP No.12 Tahun 2014 beserta kenaikan tarif didalamnya. Namun, dengan naiknya tarif tersebut, ternyata menimbulkan pro dan kontra terutama kalangan pelaku atau pengusaha wisata alam yang menyebabkan naiknya tarif masuk ke kawasan konservasi. Kedatangan turis mancanegara sudah direncanakan jauh-jauh hari oleh pengusaha wisata alam, sehingga kenaikan tarif tersebut dapat menyebabkan kekurang nyamanan pada kedua belah pihak. Selain itu kenaikan tarif harus diimbangi dengan fasilitas dan jasa yang lebih baik dari sebelumnya. “Jika dihitung secara kasar dengan membandingkannya dengan beberapa lokasi wisata lain diluar kawasan konservasi, pendapatan yang didapatkan masih sangat kecil, sehingga kemungkinan besar target tersebut mampu dicapai. Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana caranya mengembangkan dan menarik pengujung, penjualan jasa, serta adanya petugas yang bersih dalam praktik di lapangan sehingga didapatkan keuntungan yang sesuai dengan harapan maupun perhitungan”. Prof Harini, selaku Kepala Divisi RAE, IPB, menjelaskan, “Kami sebagai akademisi, disini hanya ingin berperan sebagai jembatan penghubung antara pihak-pihak terkait serta dapat menyelesaikan beberapa masalah yang masih ada dalam penerapan peraturan baru ini. Sehingga masing-masing pihak tidak saling berhadapan, terait dengan peraturan baru ini. Disini, kami hanya ingin memancing. Memancing para pihak yang berkepentingan untuk duduk dan berpikir guna menyelesaikan masalah bersama-sama.”
Dr. Ir. Ajat Sudrajat mewakili Asosiasi Pengusaha Pariwisata Alam Indonesia (Appai), menyambut baik adanya diskusi ini, dan mengusulkan perlunya telaah akademis terhadap berlakunya PP No. 12/2014 tersebut, serta perlu sosialisasi yang cukup sehingga pelaksanannya akan menguntungkan berbagai pihak. Setelah penyampaian makalah utama dan diskusi, kegiatan Diskusi Bulanan ditutup pada pukul 13.00 WIB (Agus Hikmat).